HANDPHONE ANTARA MASLAHAT DAN MADHARAT

HANDPHONE ANTARA MASLAHAT DAN MADHARAT

┏━━━━━•❥•┈•❥•━━━━┓
MATERI SOTAB HEBAT
┗━━━━━•❥•┈•❥•━━━━┛

Pendidikan Karakter Nabawiyah

HANDPHONE ANTARA MASLAHAT DAN MADHARAT

HANDPHONE ANTARA MASLAHAT DAN MADHARAT


Adakah Saatnya Menjadi Kurikulum Sekolah…?

Perkembangan teknologi digital adalah keniscayaan yang tidak dapat dibendung. Handphone (HP) kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia modern, termasuk anak-anak. Ia bukan sekadar alat komunikasi, melainkan pintu menuju dunia informasi, sumber ilmu, hiburan, bahkan ruang sosial yang membentuk cara berpikir dan bertindak generasi saat ini. Namun di tengah derasnya arus perubahan ini, muncul dilema besar di dunia pendidikan: haruskah Handphone dilarang, atau justru dijadikan bagian dari kurikulum pembelajaran?

Di banyak sekolah, terutama lembaga Islam dan pesantren, Handphone sering dianggap sumber keburukan bagi siswa. Handphone dilarang keras dengan peraturan ketat, jika melanggar, bisa dikenai sanksi berat. Argumennya: Handphone membawa lebih banyak madharat dibanding maslahat. Dari konten yang tidak layak, kecanduan game dan media sosial, hingga hilangnya konsentrasi belajar. Kekhawatiran ini tentu beralasan, karena banyaknya kasus menunjukkan bagaimana anak-anak kehilangan kendali karena penggunaan gawai yang tidak terarah. Namun di balik kekhawatiran itu, muncul pertanyaan penting: apakah steril HP, pelarangan ketat adalah solusi pendidikan yang mendidik?

Dalam perspektif pendidikan fitrah, setiap anak lahir dengan rasa ingin tahu dan potensi belajar yang besar. Fitrah ini menuntun mereka untuk mengeksplorasi, memahami, dan mencari makna dari apa yang mereka lihat. Ketika anak disterilkan untuk berinteraksi dengan Handphone, padahal mereka hidup di dunia digital yang penuh stimulus, maka fitrah ingin tahunya bisa terhambat atau justru berbalik menjadi pelanggaran tersembunyi. Anak yang penasaran tapi tidak didampingi akan mencari jalannya sendiri, dan di sinilah madharat itu bermula. Sedangkan orang tua dan para pendidik bukanlah malaikat yang bisa mencatat dan mengawasi dengan ketat. Para pendidik adalah manusia biasa yang memiliki keterbatasan indera, dalam pengawasan anak.

Sebaliknya, jika sekolah mengakui keberadaan Handphone sebagai bagian dari realitas hidup, lalu menata penggunaannya dengan nilai dan adab, maka pendidikan tidak sekadar fokus pada larangan, tapi berorientasi menumbuhkan kesadaran. Anak memiliki ruang tumbuh yang aman, dengan bimbingan yang menuntun fitrah ingin tahunya ke arah yang benar. Prinsip ini sejalan dengan pendekatan Rasulullah Shallallahu shallallahu alaihi wassalam dalam mendidik: membimbing dengan hikmah, bukan memaksa dengan ketakutan.

Melarang tanpa literasi hanya akan melahirkan kepatuhan semu. Anak mungkin taat di sekolah, tapi bebas di luar sekolah, luar rumah atau bahkan di dalam rumah tanpa kendali. Faktanya, di banyak keluarga, anak-anak tetap bisa menggunakan Handphone, bahkan lebih bebas dan bahkan tanpa bimbingan. Larangan di satu sisi dan pembiaran di sisi lain dapat memunculkan kekosongan pendidikan. Akibatnya, Anak belajar bersembunyi, menipu, berbohong, terjerumus pada penggunaan tanpa arahan dan bimbingan. Akhirnya anak hidup dalam dua dunia yang tidak konsisten, dan pendidikan kehilangan daya tuntunnya: antara ingin menjaga, tapi tidak sempat dalam membimbing.

Sebagian orang tua dan guru menolak gagasan memasukkan literasi Handphone ke dalam kurikulum dengan alasan “negara lain pun sudah melarang HP di sekolah”. Memang benar, beberapa negara seperti Prancis, Inggris, atau China menerapkan kebijakan pelarangan. Namun konteksnya berbeda. Di sana, larangan muncul bukan karena Handphone dianggap haram, tetapi agar anak fokus belajar di ruang kelas.
Sementara itu, sistem pendidikan mereka telah menyiapkan pendidikan digital citizenship yang sangat kuat di luar kelas. Artinya, Handphone memang dilarang di ruang belajar, tetapi tetap diajarkan dengan bimbingan yang sistematis.

Sebaliknya di Indonesia, larangan sering kali berdasar pada kekhawatiran moral dan ketakutan tanpa alternatif pendidikan. Anak hanya disterilkan dari HP, bukan dibimbing memakainya. Akibatnya, ketika mereka akhirnya punya HP sendiri, mereka bebas tanpa kendali nilai — karena sekolah tak pernah mengajarkan bagaimana menggunakannya dengan adab. Maka, meniru kebijakan luar negeri tanpa memahami ruhnya hanyalah bentuk reaktif, bukan mendidik.

Karena itu, alih-alih menjadikan HP sebagai musuh anak tanpa teladan, sekolah justru perlu mengajarkannya sebagai alat belajar dan sarana tanggung jawab. Kurikulum yang mengintegrasikan literasi digital berbasis adab akan jauh lebih relevan di masa kini. Anak perlu diajarkan etika bermedia, adab mencari informasi, serta tanggung jawab moral terhadap jejak digitalnya. Inilah pendidikan fitrah yang kontekstual: tidak menutup mata terhadap zaman, tetapi menuntun anak agar tetap lurus di dalamnya.

Teknologi, termasuk HP, pada dasarnya bersifat netral. Ia bisa menjadi wasilah kebaikan atau jalan keburukan tergantung pada siapa yang menggunakannya. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

> “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan di bumi semuanya, sebagai karunia dari-Nya.”
(QS. Al-Jatsiyah: 13)

Bukankah ayat tersebut mengajarkan bahwa segala sesuatu di muka bumi—termasuk teknologi—ditundukkan untuk kemaslahatan manusia, bukan untuk ditakuti? Namun, kemaslahatan itu hanya terwujud jika manusia menggunakannya dengan iman, ilmu dan hikmah. Maka, tugas pendidikan adalah membekali anak dengan dua hal: iman dan pemahaman. Tanpa iman, teknologi bisa menyesatkan. Tanpa pemahaman, memunculkan kebodohan dalam digital, yang ia bisa menjerumuskan.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

> “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban.”
(QS. Al-Isrā’: 36)

Ayat ini menjadi dasar pendidikan literasi digital: anak harus diajarkan bertanggung jawab atas apa yang dilihat, didengar, dan dibagikan. Maka, menjadikan HP sebagai bagian dari kurikulum adalah upaya menuntun anak agar bijak dalam penggunaan dan di dunia maya.

Menjadikan Handphone bagian dari kurikulum bukan berarti membebaskan anak untuk bermain gawai sesuka hati. Sebaliknya, ini adalah strategi pendidikan untuk menumbuhkan fitrah, kesadaran dan pengendalian diri. Guru dan orang tua perlu bersinergi: mengajarkan batasan, mendampingi eksplorasi, serta memberi teladan dalam penggunaan teknologi yang beretika. Jika sekolah hanya melarang tanpa memberi alternatif, maka pendidikan kehilangan fungsi utamanya: menuntun fitrah menuju kematangannya.

Larangan memang bisa mencegah sejenak, tetapi bimbinganlah yang menumbuhkan ketahanan jiwa. Sekolah seharusnya tidak sekadar menjadi benteng yang menolak arus, melainkan mercusuar yang menerangi arah. HP bukan untuk dihapus dari kehidupan anak, tetapi untuk ditundukan dengan nilai iman dan adab. Sebab, pada akhirnya, bukan teknologi yang menentukan masa depan anak-anak kita, melainkan cara kita dalam mendidik mereka menghadapi teknologi itu sendiri.

Sebab persoalan HP sejatinya bukan sekadar persoalan teknologi, melainkan persoalan hati yang tidak tertuntun. Banyak anak tumbuh dalam dua kutub ekstrem: larangan keras dan pembiaran. Dalam dua-duanya, tidak ada ruang hati yang disentuh.
Padahal, pendidikan sejati berawal dari kedekatan batin. Anak yang merasa dicintai dan dipercaya akan lebih mudah diajak berdialog dan menerima nasehat, lebih mudah belajar dan bertanggung jawab atas pilihannya. Jika hati anak tidak disentuh, maka seribu nasihat bentuk apa pun akan hilang menguap begitu saja.

Larangan tanpa cinta hanya menimbulkan jarak, sedangkan kebebasan tanpa tuntunan menimbulkan kehilangan arah. Ketika anak tumbuh besar dan memiliki kekuatan, akhirnya dengan mudah memiliki HP sendiri, tapi ia membawa luka ketidakdewasaan itu. Ia bebas secara teknis, tapi kosong secara moral. Ia punya akses tanpa arah, punya kuasa tanpa kendali. Itulah buah dari pendidikan yang kehilangan sentuhan hati.

Dalam pendidikan fitrah, mendidik berarti menuntun hati menuju kesadaran — bukan menaklukkan perilaku yang menggoreskan luka hati. Kurikulum tentang HP bukan sekadar soal etika digital, tapi pendidikan hati digital; bagaimana anak belajar dan tumbuh kesadaran merasa diawasi Allah, mencintai kebaikan, dan menjaga dirinya di dunia maya sebagaimana ia menjaga dirinya di dunia nyata.

Pada akhirnya, perdebatan tentang HP di sekolah bukan sekadar soal boleh atau tidak boleh, tapi soal bagaimana pendidikan memahami zaman dan tetap berpihak pada fitrah anak. Melarang tanpa mendidik hanya akan menunda masalah, sedangkan membimbing dengan bijak akan menyiapkan generasi yang matang menghadapi tantangan digital.

Pendidikan sejatinya bukan memisahkan anak dari realitas, melainkan menuntunnya agar mampu bersikap benar di tengah realitas itu. Maka, ketika sekolah menjadikan literasi digital berbasis adab sebagai bagian dari kurikulum, sesungguhnya ia sedang berperan sebagai penjaga fitrah zaman ini. Anak-anak perlu pembelajaran bukan hanya dengan buku dan hafalan, tetapi juga dengan kemampuan mengendalikan diri pada tantangan realitas di dunia maya yang tak berbatas.

HP memang bisa membawa madharat, tetapi di tangan anak yang dibimbing dengan iman dan adab, ia bisa menjadi wasilah kebaikan dan kemajuan. Maka, tugas pendidikan Islam hari ini adalah bukan melarang teknologi, melainkan menumbuhkan hikmah dalam menggunakannya. Karena sejatinya, pendidikan bukan tentang menjauhkan anak dari tantangan zaman — tetapi membekalinya agar mampu menjadi cahaya iman di tengah gelapnya arus dunia digital.

Khusna Banaha
SOTAB HEBAT & HCE INDONESIA

Baarakallah fiikum
Membangun Karakter Ummat – Menebar Manfaat.
Jadilah bagian dari Sekolah Orang Tua Ayah Bunda Hebat [SOTAB HEBAT Indonesia] Sekarang !
Hubungi kami untuk Join Whatsapp Grup👇🏻

Tags: No tags

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *